La mia paura più grande riguardo a questo libro era che non mantenesse il giusto equilibrio. La storia di Billy Milligan, al quale fu diagnosticato il disturbo dissociativo dell’identità, necessita di tatto per essere narrata: parliamo di una persona che ha subito violenze sessuale e torture da parte del patrigno quando era solo un bambino, che ha tentato più volte il suicidio e che per più di vent’anni ha nascosto al mondo la verità.

E non aveva tutti i torti: il mondo non è stato molto gentile con lui quando venne fuori il suo disturbo. Per tantə era solo un bugiardo che voleva solo evitare la condanna per aver rapito e violentato tre studentesse: non credevano al fatto che il responsabile di quelle orribili violenze non fosse Billy, ma Adalana, una delle sue personalità.

Capite perché per raccontare bene questa storia servisse il giusto equilibrio? Bisognava mantenere il rispetto per la condizione di Billy, ma anche per tutte le vittime dei crimini delle sue personalità più violente. Keyes è stato eccellente in questo, dando il giusto spazio a ogni vittima e contribuendo a costruire una cultura nella quale si dà più attenzione alla salute mentale e meno stigma. ( )

Recensione su: http://wp.me/p3X6aw-n4
Review at: http://wp.me/p3X6aw-n4 ( )

http://moloch981.wordpress.com/2011/10/28/una-stanza-piena-di-gente/ ( )

Billy Milligan merasa kehilangan waktu selama enam tahun tanpa tahu apa yang sudah ia lakukan. Tahu-tahu saja dia sudah berada di sebuah penjara dengan dakwaan pemerkosaan dan perampokan dengan kekerasan. Dia shock, tentu saja. Ketakutan menyergap jiwanya dan ia tak bisa berbuat apa-apa.

Jika tak membaca “24 Wajah Billy”, rasanya sulit membayangkan begitu rapuhnya jiwa manusia sehingga bisa terpecah menjadi kepingan-kepingan kepribadian yang jauh berbeda satu sama lain. Tapi memang demikianlah keadaan kejiwaan yang dialami Billy Milllian. Hal ini tentu saja terjadi bukan tanpa alasan. Sejak kecil Billy telah mengalami depresi berat. Kedua orang tua kandungnya selalu bertengkar. Sang ayah pun seringkali memukul ibunya dan bersikap kasar. Ketika akhirnya mereka bercerai dan sang ibu menikah lagi, ayah baru Billy ternyata tak jauh berbeda. Billy beruang kali dibawa ke tanah pertanian, dikubur dalam tanah dengan hanya wajah yang tampak untuk kemudian dikencingi. Atau di lain waktu, saat nasib tak menjadi lebih baik, Billy Milligan disodomi ayah angkatnya sendiri.

24 kepribadian Billy ini memiliki karakter yang begitu berbeda. Ada lelaki, ada perempuan. Ada anak kecil dan yang dewasa. Ada lesbian yang haus kasih sayang, ahli senjata api, seorang Rusia yang temperamental, orang Inggris yang kaku dan bermartabat, hingga perampok ulung. Beberapa dari mereka membentuk keluarga. Yang lainnya, yang selalu berbuat kekacauan saat menguasai tubuh Billy, dicap sebagai “yang tak diinginkan”. “24 Wajah Billy” menuturkan perjuangan Billy Milligan untuk kembali mendapatkan tempat di masyarakat. Banyak pihak menginginkan dia untuk mati. Banyak juga yang hendak membawanya menuju Rumah Sakit Jiwa dengan pengamanan ekstra di Lima. Tapi tentu saja hal ini ditolak para pembela Billy. Mereka meyakini bahwa apa yang dilakukan Billy hanyalah karena sosok lelaki ini tengah menderita akibat kekerasan yang terjadi di masa kanak-kanaknya. Perjuangan keras para pembela Billy melibatkan tak hanya fisik, namun juga tekanan mental, pertaruhan nama baik hingga pertaruhan keutuhan rumah tangga. Dan beruntung, di bawah penanganan tim dokter yang dipimping dr. Harding Jr., pada akhirnya Billy yang telah menjalani sejumlah terapi penyatuan kepribadian bisa dikembalikan ke masyarakat. Meski tak semua orang bisa benar-benar menerimanya kembali.

“… Milligan, yang jelas tidak diberi kesempatan yang adil dalam hidup ini, telah kembali ke Athens untuk dirawat oleh para ahli di sini. Dan masyarakat ini, kalaupun adayang mereka perbuat, seharusnya membantu memberikan atmosfer mendukung yang dia butuhkan…. Kami tidak meminta anda untuk menyambut Milligan dengan tangan terbuka. Tetapi kami meminta anda untuk memahami. Itulah yang setidaknya berhak dia terima.” kutip koran mahasiswa Ohio University, The Post, mengakhiri buku ini dengan manis. ( )

This was an interesting book about someone who learned that he was rarely in charge of his actions. One scene that stuck in my mind was when "Phillip" decided to go to New York and "David" came forward and couldn't carry the weight of the duffel bag. ( )